"Sudah kubilang aku taksuka tempat aneh-aneh begini, kan?"
"Apanya yang aneh? Ini cuma kafe biasa!"
Kamidama berteriak kesal, dan akhirnya kami terdampar di sebuah kafe. Letaknya tersembunyi di antara gang-gang kecil kota kami yang tidak terlalu besar, tak jauh dari stasiun terdekat.
Melihat lokasinya, sepertinya kafe ini tidak terlalu mengejar pelanggan baru. Konon katanya, orang kaya suka buka usaha semacam ini sebagai hobi, sengaja memilih lokasi tersembunyi agar tidak kebanjiran untung. Mungkin kafe ini salah satunya. Tampilan luarnya yang elegan dan tenang membuatku, seorang anak SMA, merasa sedikit canggung.
Aku tak habis pikir Kamidama membawa kami ke sini seolah ini tempat nongkrongnya sehari-hari. Apa ini tempat gaul anak SMA zaman sekarang?
Anak cewek SMA memang hebat... Aku sih biasanya cuma ke Saizeriya. Kamidama sudah melangkah ke pintu, menatapku seolah berkata, "Cepetan!"
...Yah, tak ada gunanya berdiri bengong di sini.
Terpaksa aku mengikuti rencana Kamidama. Sial, kalau tahu bakal ke tempat begini, mending tadi kuseret diam-diam ke restoran keluarga saja.
Aku nyaris tak pernah ke kafe, apalagi yang sekelas ini.
Agak gugup, aku mengikuti Kamidama yang membunyikan bel pintu.
Bagian dalam kafe sama persis dengan kesan luarnya—tenang dan berkelas.
Tak ada pelanggan lain, hanya ada seorang pria tua yang kelihatannya pemilik kafe dan seorang gadis yang sepertinya pekerja paruh waktu, keduanya tampak santai.
Mata kami bertemu sekilas, dan si pemilik tersenyum.
Aku mengangguk pelan dan mengikuti Kamidama ke kursi dekat jendela, duduk berhadapan dengannya.
Meski sepi pelanggan, tempatnya terawat dengan baik.
Sofanya empuk, dan mejanya bersih mengkilap.
Begitu terbiasa, rasanya cukup nyaman juga.
"Rekomendasiku sih pesan kopi. Bagaimana? Hei, bagaimana menurutmu?"
"Oh begitu. Kamu ngotot sekali ya. Aku pesan cokelat panas saja deh."
"Dua kopi ya, mbak!"
"Woi..."
Apaan tuh? Pendapatku diabaikan mentah-mentah.
Bukan cuma diabaikan, tapi seolah kata-kataku tak sampai ke telinganya.
Si mbak part-timer tertawa kecil dan bilang, "Oke," lalu pergi, membuatku merasa keberadaanku di sini hampir tak terasa.
Rasanya aku bisa kabur tanpa ketahuan.
Beneran tak bakal ketahuan kali ya? Apa kabur saja?
"Mukamu kayak lagi mikir yang aneh-aneh..."
"Mukaku kenapa emang? Lagian kamu yang pesan seenaknya tanpa nanya dulu."
"Habisnya aku pingin kamu nyobain kopinya sih. Mau bagaimana lagi?"
"Terserahlah kalau begitu..."
Kok lama-lama dia makin tak ada sopan-sopannya dengan aku ya? Dari awal sih memang sudah langsung tancap gas, tapi sekarang sisa-sisa kesopanannya sudah lenyap total.
Padahal baru beberapa jam, masa langsung hilang begitu saja? Sini, kubantu carikan deh, oke?
Kalau memang mau aku nyobain kopi, ya bilang dari tadi kek.
Jangan remehkan aku, aku ini pecinta makanan manis lho.
Kalau mau minum kopi, aku butuh waktu tiga hari buat persiapan mental.
Idealnya sih, ada sepotong shortcake di sampingnya.